MAHASISWA dan
PERUBAHAN SOSIAL
Pendahuluan
Belajar adalah
kewajiban setiap insan yang ada di muka bumi ini. Terserah ia itu pelajar,
mahasiswa, atau siapapun itu, semua wajib untuk belajar. Sesuai dengan ayat
yang pertama kali diturunkan di muka bumi ini (Al Alaq : 1-5). Lafadz Iqra
jangan hanya kita pahami secara etimologis saja (baca), tapi juga harus kita
pahami secara terminologis bahasanya juga. Bahwa pada saat membaca kita juga
harus memahami, untuk kemudian melaksanakan apa yang telah dipelajari. Aspek
kognitif (dengan rasionalisasi), afektif (berdasarkan norma/hati), dan
aplikatif (tindakan yang didasari dengan rasionalisasi dan norma). Belajar
tidak terpaku pada bangku sekolah saja, kapanpun-dimanapun kita harus terus
belajar. Apapun wajib untuk kita pelajari, tidak terpaku pada satu disiplin
ilmu saja. Tapi tidak lupa, bahwa apapun yang kita pelajari harus didasarkan pada
iman Islam kita. Sehingga akan terciptanya Insan akademis, pencipta, pengabdi
yang bernafaskan Islam.
Mahasiswa
dipandang sebagai golongan dalam masyarakat yang memiliki kelebihan dalam
bidang keilmuan (terpelajar) - Alhamdulillah diberi kesempatan untuk menjadi
mahasiswa - merupakan elemen yang terbebas dari konspirasi-konspirasi tertentu,
artinya bahwa mahasiswa adalah suatu kelompok otonom yang masih murni dan
memiliki idealisme yang kokoh. Ketika mahasiswa bergerak untuk melakukan
pressure terhadap institusi kepentingan yang lain atas nama kaum mustadh’afin.
Dalam perjalanan
sejarah Indonesia, mahasiswa selalu ambil bagian. Kaum intelektual ini tidak
pernah melepaskan perhatiannya terhadap Republik ini. Jika dikatakan ada 3
tahap dalam sejarah perjuangan bangsa ini (prakemerdekaan, proklamasi,
paskaproklamasi), maka mahasiswapun selalu ikut. Pertama pada masa
prakemerdekaan, ketika teman-teman mahasiswa mendesak Soekarno & Hatta
untuk segera melakukan proklamasi.
Pada masa paskaproklamasi, mahasiswa
dan kaum muda lainnya juga masih terus memperjuangkan hak-hak kaum
mustadh’afin. Beberapa peristiwa besar yang melibatkan mahasiswa antara lain
periode 1966, 1974, 1978, 1998, dan 2001.
Mahasiswa mempunyai kewajiban
untuk mencerdaskan ummat bagaimanapun caranya itu. Salah jika ada yang
mengatakan bahwa tugas mahasiswa adalah hanya untuk belajar, karena belajar
bukan kewajiban mahasiswa, belajar adalah kewajiban setiap individu. Ada
beberapa tugas utama mahasiswa, yaitu sebagai agent social of change, dan
sebagai agent social of control.
Pengertian
Banyak sekali pengertian
mahasiswa, hal itu muncul karena berbagai hal. Berikut adalah beberapa
pengertian mahasiswa :
- Kelompok
sosial yang memiliki kelebihan dibidang akademik dibandingkan kelompok sosial
lain.
- Seseorang
yang telah terdaftar di suatu perguruan tinggi dengan tujuan menuntut
ilmu.
- Pressure
Group yang bias mempengaruhi segala kebijakan Negara.
- Kaum
intelektual.
- Agent
of change.
- Kaum
muda yang memiliki energi untuk keluar dari tekanan yang dianggap
menghambat idealismenya.
Sebenarnya
masih banyak lagi pengertian dari mahasiswa, namun semua itu kembali kepada
tiap-tiap individu. Dengan melihat sejarah pergerakan mahasiswa itu sendiri
seharusnya kita sudah mampu mengambil kesimpulan mahasiswa itu sendiri. Kita
harus dapat mendefinisikan ulang pengertian mahasiswa, posisi mahasiswa, dan
peran mahasiswa. Hal ini penting, karena teman-teman yang menjadi mahasiswa
harus menjadi mahasiswa yang sebenarnya. Bukan mahasiswa yang hanya dating,
duduk, diam tanpa bisa kritis terhadap realitas yang ada di kehidupan
sekitarnya.
Peran dan Fu
Mahasiswa adalah
sumber dari perubahan sosial suatu bangsa (agent social of change). Sebagai
kelompok elit dalam masyarakat, mahasiswa pada hakikatnya memberi arti bahwa ia
memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan fungsi generasinya,
sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagian masyarakat
hari ini dan masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu
mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “ kekuatan moral “ (Moral Force) yang
senantiasa melaksanakan fungsi “ Sosial Control “. Untuk itulah maka kelompok
mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali
kepentingan kebenaran dan objektifitas demi kebaikan masyarakat hari ini dan
masa depan.
Banyak cara yang
dapat dilakukan mahasiswa dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Selain
belajar materi-materi formal di bangku perkuliahan, mahasiswa juga “HARUS
”belajar banyak hal di eksternal. Contoh konkritnya adalah dengan ikut
bergabung belajar di organisasi-organisasi yang ada (baik organisasi eksternal
maupun internal). Ilmu yang didapat dari bangku kuliah akan menjadi sia-sia jika
tidak diimbangi dengan ilmu yang didapat dari organisasi. Survey yang pernah
dilakukan oleh beberapa pihak memberi bukti bahwa orang yang sukses di dunia
kerja, berarti ia sukses menggabungkan antara ilmu yang didapat dari bangku
kuliah dengan ilmu yang didapat dari organisasi.
Seberapa
pentingkah ikut organisasi itu ? Itu pasti pertanyaan yang sering muncul.
Mengikuti organisasi adalah hal yang wajib, karena kita akan mendapatkan
hal-hal baru dan menarik yang mencerdaskan kita. Wawasan kita akan diperluas,
cara pandang kita menjadi tidak sempit, menambah teman dan relasi, dinamika
yang kita dapatkan pun akan lebih menarik. Ilmu yang kita dapatkan
nantinya-baik itu dari bangku kuliah atau organisasi-akan kita aplikasikan ke
dalam kehidupan bermasyarakat.
Mahasiswa
setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi
lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan
proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai
duta-duta pembaharuan masyarakat ( agent of change ). Kelompok mahasiswa dengan
sikap dan watak tersebut diatas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas
generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan
bangsa dari generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh karena itu
mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif, dinamis dan tidak
statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “ duta-duta
pembaharu “ dalam artian harus meng hendaki perubahan yang terus-menerus kearah
kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka
selalu mencari kebenaran, dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta
dikemukakan melalui pembuktian dialam semesta dan dalam sejarah umat manusia.
Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan
umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh
nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran
Ilahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai
kebenaran demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka setiap mahasiswa harus
mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Berdasarkan latar belakang
sejarah, kita bisa menyadari bagaimana kondisi sosiologis gerakan pemuda dan
mahasiswa pada masa Orde Baru sebelum tahun 80-an. Sebagian besar aktifis tahun
'66 pada masanya tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur kiri
(kecuali untuk Soe Hok Gie, pada masa SMP bahan-bahan bacaannya mencerminkan
kejujuran/demokrasi intelektual, juga Ahmad Wahib). Dan dalam tindakan
politiknya mereka tidak memiliki pengalaman mengorganisir atau bergulat dengan
rakyat bawah (grassroot); tindakan politiknya elitis serta pragmatis. Dengan
begitu tidak mengejutkan bila, pada masa-masa Orde Baru, mereka terbius oleh
mitos bahwa bangsa Indonesia sedang dalam proses pembangunan ekonomi dan
politik. Apalagi pada waktu itu masih didukung oleh booming minyak. Sebagian
dari mereka masuk kedalam struktur kelembagaan negara, sebagian menjadi
pengusaha, sebagian kecil saja dari mereka masuk ke struktur kelembagaan yang
secara sosiologis dapat menumbuhkan kembali idealismenya
Ciri- ciri mahasiswa:
- Berfikir
rasional,objektif dan kritis
- Progresif
dan dinamis
- Bebas
terbuka dan merdeka
- Keberpihakan
kepada masyarakat
- Berpengetahuan
luas
- Fungsionalisasi
ajaran islam
Alat untuk mencapai perjuangan :
- Petisi
- Unjuk
rasa
- Boikot/Pemogokan
Nilai yang ada dalam organisasi mahasiswa :
- Pemahaman
terhadap masyarakat dan problem-problem rakyat
- Keberpihakan
kepada rakyat
- Pengolahan
massa
* Penulis adalah Ketua Umum
Himpunan Mahasiswa Statistika UNISBA Periode 2004-2005 dan KABID PTKP HMI
Komisariat MIPA UNISBA
Pergerakan
Mahasiswa Indonesia : Tinjauan Historis
Gerakan
mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi
yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek
ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas
hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai
perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat
dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi
atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi
yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun
tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam
memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak
mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap
lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan
kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian,
segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih
merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku
politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen
awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup
rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti
tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah
perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa
perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan
dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Masa selama
studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran,
sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang
terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang
terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara
empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap
dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis
tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang
dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat
kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan
merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Masa
Penjajahan Belanda
Murid-murid
STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun 1915.
Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum
memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa
Raya. Dalam hal ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme
ataupun keadilan sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun
pada konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa
dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit masyarakat
pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan yang
lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya
tersebut.
Masa Penjajahan Jepang
Semua organisasi
pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam, yang utama
Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik
politik dan kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela
kepentingan ekonomi-politik Asia Timur Raya
Masa Kemerdekaan 1945-1950
Suatu momentum
yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka melucuti
senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya
Angkatan Pemoeda Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan
Pemoeda Repoeblik Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda
Poetri Indonesia (PPI dan lain-lainnya).
Organisasi-organisasi seperti
Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja
(PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI),
Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen
Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM)
setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di
daerah pendudukan Belanda. Dalam perjalanannya, keberadaan BKMI, yang dikatakan
kolaborator, menimbulkan pro dan kontra republik. Pertentangan ini dapat
diselesaikan setelah elemen-elemen pro republik mengadakan infiltrasi ke badan
eksekutif organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke BKMI. Kongres
Pemoeda Seloeroeh Indonesia pada 8-14 juni 1950 berhasil membentuk Front
Pemoeda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa
universitas
1950-AN DAN SELANJUTNYA
Periode
demokrasi liberal, diawal tahun 1950-an, yang oleh beberapa sejarawan dikatakan
memberi dampak positif bila dilihat dari pendewasaan pendidikan politik
ternyata tidak berlaku bagi lahan mahasiswa. Pertemuan Madjelis
Permoesjawaratan Mahasiswa (MPM) PPMI dalam bulan Desember 1955 di Bogor
memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah
bahwa keanggotaan PPMI di FPI, yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi
lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa
justru melumpuhkan aktifitas politik mereka: membius diri dengan slogan-slogan
"Kebebasan Akademik" dan "Kembali Ke Kampus". Mahasiswa
jadinya lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan rekreasi, perploncoan, mencari
dana untuk aktifitas kedermawanan dan jarang menghadiri pertemuan-pertemuan
yang berwatak serius. Hanya segelintir saja mahasiswa yang prihatin atas
kemunduran gerakan mahasiswa tersebut.
Dalam masa ini orentasi gerakan
mahasiswa sudah mulai membaik dalam menggugat hubungan sosial kapitalisme,
kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme, dikalahkan oleh kesiapan
militer (yang masuk ke dalam gerakan pemuda, mahasiswa dan partai-partai
politik sayap kanan). Bisakah gerakan mahasiswa tersebut disebut gerakan massa?
Karena secara teoritis kesiapan gerakan militer sayap kanan hanya dapat
dikalahkan oleh mobilisasi massa yang sudah siap, baik kuantitas maupun
kualitasnya. Orentasi politik yang baik tanpa tindakan politik yang baik
hanyalah merupakan petualangan
Dengan melihat
latar belakang sejarah seperti tersebut diatas, kita bisa menyadari bagaimana
kondisi sosiologis gerakan pemuda dan mahasiswa pada masa Orde Baru sebelum
tahun 80-an. Sebagian besar aktifis tahun '66 pada masanya tidak pernah
bersentuhan dengan literatur-literatur kiri (kecuali untuk Soe Hok Gie, pada
masa SMP bahan-bahan bacaannya mencerminkan kejujuran/demokrasi intelektual,
juga Ahmad Wahib). Dan dalam tindakan politiknya mereka tidak memiliki
pengalaman mengorganisir atau bergulat dengan rakyat bawah (grassroot);
tindakan politiknya elitis serta pragmatis. Dengan begitu tidak mengejutkan
bila, pada masa-masa Orde Baru, mereka terbius oleh mitos bahwa bangsa Indonesia
sedang dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Apalagi pada waktu itu
masih didukung oleh booming minyak. Sebagian dari mereka masuk kedalam struktur
kelembagaan negara, sebagian menjadi pengusaha, sebagian kecil saja dari mereka
masuk ke struktur kelembagaan yang secara sosiologis dapat menumbuhkan kembali
idealismenya
Buruh tani mahasiswa kaum miskin
kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi satu tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebasnya masyarakat pekerja
Terbentuknya tatanan masyarakat
Demokrasi seutuhnya
Marilah kawan mari kita kobarkan
Di tangan kita tergenggam arah
bangsa
Marilah kawan mari kita pekikkan
Sebuah lagu
Tentang pembebasan
Demokrasi sepenuhnya
Demokrasi sampai mati
Oleh : Mohammad Reza