Manusia Mahluk 2 Dimensi
Manusia adalah mahluk yang paling
dimuliakan Tuhan dikarenakan manusia dikaruniai akal untuk berpikir sehat,
Konsekuensi dari mahluk yang berakal dapat membedakan benar dan salah, baik dan
buruk, dapat berkarya, membangun peradaban, beragama dan bersosialisasi.
Sekalipun sifat pembeda (differentia) antara hewan dan manusia hanyalah volume
otak, akan tetapi sudah cukup kuat untuk diargumentasikan bahwa kekuatan akal
sengaja diturunkan Tuhan untuk manusia sebab manusia memegang amanah sebagai
khalifatullah fil ardhi (Khalifah dimuka bumi).
Bila kita lihat dari kacamata
teologis maka manusia dapat disebut sebagai mahluk dua dimensi. Manusia adalah
mahluk yang diberkahi dengan kemampuan transenden, disisi lain manusia adalah
mahluk social (homo homini socius). Artinya entitas manusia berada pada dimensi
ketuhanan dan dimensi social. Sebagai sebuah entitas yang terdiridari jiwa dan
raga, manusia mempunyai kewajiban sesuai dengan kebutuhan unsur-unsurnya
sebagai entitas. Sebagai ruh, manusia senantiasa membutuhkan hubungan
transedental denan Tuhannya yang merupakan sumber manifestasi manusia. Sebagai
sebuah raga, manusia membutuhkan mahluk lain agar manusia tak kesusahan
menjalani hidup di dunia ini.
MANUSIA
SEBAGAI MAHLUK KETUHANAN
Artinya
manusia merupakan manifestasi ketuhanan. Dengan akal yang dikaruniakan Tuhan
pada manusia, manusia dapat menerjemahkan realitas eksternal sehinga mencapai
kesadaran bahwa dirinya adalah manifestasi dari zat Tuhan sesuai dengan firman
Tuhan dalamAs-Sajadah ayat 8-9 : “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati airyan hina (air mani). Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)nya roh-Nya…” Sehinga ketika kita mencapain kesadaran ini manusia
akhirnya memeluk agama. Dengan agama manusia memiliki pedoman ibadah untuk
melaksanakan hubungan transedental yaitu hubungan antara mahluk sebgai ciptaan
dan Tuhan sebagai pencipta.
Melalui
hubungan vertical manusia dan Tuhan tersebutlah manusia telah mengkomunikasikan
jiwanya dengan Sang Pemilik jiwanya. Maka tidak mengeherankan lagi bila kita
merasakan ketenangan sebagai buah dari kebahagiaan spiritual sesudah
melaksanakan ibadah kepada Sang Pencipta. “Sungguh bahagialah orang-orang
mukmin yang khusyu’ dalam shalatnya” (Al-Mu’minuun ayat 1-2)
MANUSIA
SEBAGAI MAHLUK SOSIAL
Aristoteles,
bapak filsafat kita telah mengatakan sebelumnya bahwa manusia merupakan zoon
politicon artinya manusia senantiasa membutuhkna mahluk lain untuk hidup
sehingga manusia dapat dikatakan sebaai mahluk social (homo homini socius).
Manusia tidak dapat bertahan hidup sendirian. Mereka senantiasa membutuhkan
manusia lain untuk mengeternalisasikan dan menginternalisasikan eksistensinya.
Manusia butuh cinta, kasih sayang, persahabatan dan penghargaan yang hanya bisa
dia dapat pada dunia social untuk menghindari depresi. Manusia merupakan mahluk
komunalistik yang merupakan fitrahnya.Sehingga sikap yang individualistic
merupakan pengingkaran terhadap kodrat.
Sebagai
mahluk social manusia senantiasa melengkapi kebutuhannya dengan bantuan mahluk
lain. Akan tetapi sebagai mahluk yang berpikir dan dikaruniai rasa malu,
manusiapun terikat terikat oleh norma-norma yang berdiri diantara manusia dan
manusia lainnya, Mereka senantiasa bersosialisasi tanpa mengingkari norma
agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum yang ada. Sesuai
dengan hadits nabi: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi luhur
manusia.” Manusia senantiasa mengedepankan kebaikan yang telah diisyaratkan
oleh hukum-hukum yang dipasung agama dan sosial karena konsekuensi lain dari
mahluk sosial (homo homini socius) adalah mahluk yang senantiasa berkonflik
(homo homini lupus). Untuk meredam konflik perlu ditegakkan norma agama sehinga
tidak mengacaukan interaksi sosial.
Berawal
dari hubungan transeden antara manusia dan Tuhan, manusia kemudian turun ke wilayah
masyarakat untuk menegakkan nilai Ketuhanan (Tauhid) hinga terciptanya
keluhuran budi manusia. Gerakan shalat adalah salah satu isyarat bagi kaum yang
berpikir. Shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam yan bila kita
tafsirkan maka akan disadari bahwa pintu masuk menuju dunia sosial adalah
melalui dimensi ketuhanan (takbir).
Tyo Mokoagow
0 komentar:
Posting Komentar