Sabtu, 14 September 2013

Manusia Mahluk 2 Dimensi

Manusia Mahluk 2 Dimensi 
Manusia adalah mahluk yang paling dimuliakan Tuhan dikarenakan manusia dikaruniai akal untuk berpikir sehat, Konsekuensi dari mahluk yang berakal dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk, dapat berkarya, membangun peradaban, beragama dan bersosialisasi. Sekalipun sifat pembeda (differentia) antara hewan dan manusia hanyalah volume otak, akan tetapi sudah cukup kuat untuk diargumentasikan bahwa kekuatan akal sengaja diturunkan Tuhan untuk manusia sebab manusia memegang amanah sebagai khalifatullah fil ardhi (Khalifah dimuka bumi).

Bila kita lihat dari kacamata teologis maka manusia dapat disebut sebagai mahluk dua dimensi. Manusia adalah mahluk yang diberkahi dengan kemampuan transenden, disisi lain manusia adalah mahluk social (homo homini socius). Artinya entitas manusia berada pada dimensi ketuhanan dan dimensi social. Sebagai sebuah entitas yang terdiridari jiwa dan raga, manusia mempunyai kewajiban sesuai dengan kebutuhan unsur-unsurnya sebagai entitas. Sebagai ruh, manusia senantiasa membutuhkan hubungan transedental denan Tuhannya yang merupakan sumber manifestasi manusia. Sebagai sebuah raga, manusia membutuhkan mahluk lain agar manusia tak kesusahan menjalani hidup di dunia ini.

MANUSIA SEBAGAI MAHLUK KETUHANAN

Artinya manusia merupakan manifestasi ketuhanan. Dengan akal yang dikaruniakan Tuhan pada manusia, manusia dapat menerjemahkan realitas eksternal sehinga mencapai kesadaran bahwa dirinya adalah manifestasi dari zat Tuhan sesuai dengan firman Tuhan dalamAs-Sajadah ayat 8-9 : “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati airyan hina (air mani). Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh-Nya…” Sehinga ketika kita mencapain kesadaran ini manusia akhirnya memeluk agama. Dengan agama manusia memiliki pedoman ibadah untuk melaksanakan hubungan transedental yaitu hubungan antara mahluk sebgai ciptaan dan Tuhan sebagai pencipta.

Melalui hubungan vertical manusia dan Tuhan tersebutlah manusia telah mengkomunikasikan jiwanya dengan Sang Pemilik jiwanya. Maka tidak mengeherankan lagi bila kita merasakan ketenangan sebagai buah dari kebahagiaan spiritual sesudah melaksanakan ibadah kepada Sang Pencipta. “Sungguh bahagialah orang-orang mukmin yang khusyu’ dalam shalatnya” (Al-Mu’minuun ayat 1-2)
MANUSIA SEBAGAI MAHLUK SOSIAL

Aristoteles, bapak filsafat kita telah mengatakan sebelumnya bahwa manusia merupakan zoon politicon artinya manusia senantiasa membutuhkna mahluk lain untuk hidup sehingga manusia dapat dikatakan sebaai mahluk social (homo homini socius). Manusia tidak dapat bertahan hidup sendirian. Mereka senantiasa membutuhkan manusia lain untuk mengeternalisasikan dan menginternalisasikan eksistensinya. Manusia butuh cinta, kasih sayang, persahabatan dan penghargaan yang hanya bisa dia dapat pada dunia social untuk menghindari depresi. Manusia merupakan mahluk komunalistik yang merupakan fitrahnya.Sehingga sikap yang individualistic merupakan pengingkaran terhadap kodrat.

Sebagai mahluk social manusia senantiasa melengkapi kebutuhannya dengan bantuan mahluk lain. Akan tetapi sebagai mahluk yang berpikir dan dikaruniai rasa malu, manusiapun terikat terikat oleh norma-norma yang berdiri diantara manusia dan manusia lainnya, Mereka senantiasa bersosialisasi tanpa mengingkari norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum yang ada. Sesuai dengan hadits nabi: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi luhur manusia.” Manusia senantiasa mengedepankan kebaikan yang telah diisyaratkan oleh hukum-hukum yang dipasung agama dan sosial karena konsekuensi lain dari mahluk sosial (homo homini socius) adalah mahluk yang senantiasa berkonflik (homo homini lupus). Untuk meredam konflik perlu ditegakkan norma agama sehinga tidak mengacaukan interaksi sosial.

Berawal dari hubungan transeden antara manusia dan Tuhan, manusia kemudian turun ke wilayah masyarakat untuk menegakkan nilai Ketuhanan (Tauhid) hinga terciptanya keluhuran budi manusia. Gerakan shalat adalah salah satu isyarat bagi kaum yang berpikir. Shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam yan bila kita tafsirkan maka akan disadari bahwa pintu masuk menuju dunia sosial adalah melalui dimensi ketuhanan (takbir).

Tyo Mokoagow

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar