Dinamika
sosial yang terjadi pada konteks kebangsaan sejak periode pra-kemerdekaan di
Indonesia, tidak akan bisa dipisahkan dari peran pemuda sebagai kontributor
utama pada setiap episode perubahan sosial. Pemuda senantiasa hadir dan menjadi
bagian pada peristiwa-peristiwa monumental dalam sejarah Indonesia seperti
kebangkitan nasional Boedi Oetomo 1908, soempah pemoeda 1928, proklamasi 1945,
dan reformasi pada tahun 1998. Pemuda tidak pernah terlepas dari peran mereka
yang begitu idealistik dalam agenda-agenda sosial.
Barangkali
peristiwa yang paling tepat untuk dijadikan titik awal pemuda mendapatkan
predikatnya sebagai aktor utama dalam sejarah adalah peristiwa Soempah Pemoeda
yang terjadi pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Momentum tersebut merupakan
momentum yang paling penting dalam usaha Indonesia menyambut kemerdekaan. Hasil
deklarasi pemuda tersebut kemudian melahirkan ikrar luhur, yang berbunyi:
1.
Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertumpah air satu, tanah air Indonesia.
2.
Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
3.
Kami putra dan putri Indoensia,
menjunjung bahasa persatuan, basa Indonesia.
Pemuda
dan Tantangan Zaman
Pada
era dimana individualisme menjamur yang kemudian melahirkan sekulerisasi,
mayoritas pemuda Indonesia kemudian tenggelam dalam arus hedonisme yang begitu
memabukkan. Pemuda kemudian terlena hingga kehilangan semangat kebangsaan
mereka. Bisa dikatakan bahwa generasi muda Indonesia hari ini adalah generasi
“alzhemeir”, generasi yang lupa pada sejarah mereka sendiri, sejarah yang
dituliskan menggunakan pena dengan tinta darah para pemuda masa lalu.
Pemuda
telah menampakkan sikap apatis terhadap persoalan-persoalan bangsa hari ini.
Yang kemudian dimanfaatkan oleh segelintir kelompok yang berlindung dibelakang
nama demokrasi semata-mata demi tujuan pribadi mereka. Pada akhirnya kita
menyaksikan tepat di depan mata kepala kita sendiri bagaimana pendidikan
dikesampingkan, identitas budaya masyarakat dikebiri, hukum dijadikan permainan
oleh para elitis, dan saat alam Indonesia secara terang-terangan dieksploitasi
secara massal. Permasalah yang terjadi adalah ketika pemuda diam terpaku
menonton praktek kolonialisasi seakan-akan dengan sukarela menerima untuk
dijajah.
PERMASALAHAN
BANGSA
Dari
aspek kesejahteraan sosial, rasanya semua akan sepakat bahwa Indonesia
mengalami banyak masalah mendasar di bidang ekonomi. Bila digunakan pendekatan
jumlah keluarga yang masih layak untuk mendapatkan raskin (beras untuk orang
miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga. Maka dengan rata-Rata anggota keluarga 4
orang, paling tidak saat ini jumlah masyarakat miskin minimal 40 juta orang
dengan batasan pengeluarn Rp. 200.262 per orang per bulan, atau Rp. 6.675 per
orang per hari. Dengan kata lain, bila digunakan indikator USD 2 per orang per
hari, jumlah masyarakat miskin Indonesia akan jauh lebih besar.
Tingkat
kesejahteraan yang sangat rendah ini menjadikan Indonesia mengalami
ketertinggalan dari negara-negara lain. Indikator Human Development Indeks
(HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IDP) menempatkan Indonesia sebagai
negara yang paling tertinggal di antara negara-negara ASEAN.
Selain
dari aspek kesejahteraan tadi, dari segi pendidikan Indonesia masih sangat
tertinggal. Pendidikan formal Indonesia satu dibandingkan dengan pendidikan
luar negeri selalu berada di urutan bawah. Sebagaimana data-data yang tersebar
di banyak media, jika dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang,
utamanya negara-negara ASEAN, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat tertinggal
jauh. Survei Political and Economic Risk (PERC) menunjukan bahwa kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Pada
survei tahun 2007 oleh World Competitiveness Year Book memaparkan bahwa daya
saing pendidikan Indonesia berada pada urutan 53 dari 55 negara yang disurvei.
Di samping itu, pada survei pada 2009 menghasilkan bahwa tingkat melek huruf
penduduk di Indonesia mencapai 99,47 persen.
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu: Rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, serta mahalnya
biaya pendidikan.
Permasalahan
nasional selanjutnya adalah permasalahan budaya. Efek dari pusaran globalisasi
yang begitu deras membuat masyarakat Indonesia kita menerima pengaruh
globalisasi tanpa memilah-milah terlebih dahulu. Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwasanya masyarakat Indonesia telah mengalami degradasi moral yang
begitu akut. Budaya yang merupakan identitas nasional mulai terkikis dan
berujung pada hilangnya penghayatan terhadap tradisi nenek moyang kita.
Hasil
suatu survey menunjukan bahwa bahasa daerah asli Indonesia telah berkurang
sebanyak 30% dari 745 bahasa daerah dalam 20 tahun terakhir. Data ini
mengindikasikan bahwa identitas budaya nasional perlahan-lahan akan memudar dan
menjelma ke identitas baru yang disebut budaya konsumerisme dan budaya
hedonisme. Merupakan renungan tersendiri bagi para pemuda yang telah
menghianati ikrar mereka pada peristiwa sumpah pemuda, bahwasanya mereka
mengakui bahwa berbahasa persatuan adalah bahasa Indonesia akan tetapi hanya
diam saja ketika bahasa daerah Indonesia beranjak musnah.
Aspek
kesejahteraan, pendidikan dan kemerosotan budaya inipun berbanding lurus dengan
kebobrokan hukum di Indonesia. Sebuah data statistik menunjukan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke 118 negara terkorup di dunia . Indonesia Corruption
Watch (ICW) mencoba menganalisis berbagai data penyidikan korupsi. Alhasil,
ternyata sebanyak 285 kasus korupsi di Indonesia sudah merugikan negara sebesar
Rp 1,22 triliun yang terjadi hanya dalam satu semester . Ironisnya, sektor
infrastruktur yang sedang didorong pemerintah malah menduduki posisi teratas tindak
korupsinya.
Selain
korupsi di jajaran birokrasi, permasalahn hukum yang juga melanda Indonesia
meliputi kolonialisasi secara massal terhadap alam Indonesia oleh bangsa asing.
Katakanlah salah satunya kasus freeport di Papua yang secara terang-terangan
mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia secara besar-besaran yang kemudian
berujung pada merosotnya kesejahteraan sosial. Fenomena yang memperlihatkan
wajah oportunis para birokrat negara.
Ironisnya
pelaku kekacauan ini bukanlah bangsa asing melainkan bangsa Indonesia sendiri.
Benarlah yang pernah dinubuatkan oleh founding fathers kita, presiden Soekarno.
Beliau mengatakan bahwasanya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
REVITALISASI
NILAI-NILAI SUMPAH PEMUDA DALAM MASALAH BANGSA
Menyadari
bahwasanya pemuda pada zaman ini telah mengalami kemunduran baik dibidang
intelektual, kreativitas dan pergerakan, sehingga pada momentum yang berharga
ini, pada tanggal 28 Oktober tahun 2013, perlu kiranya diadakan upaya
penyadaran kembali mengenai semangat kepemudaan yang sepertinya tertidur dalam
alam bawah sadar pemuda Indonesia. Revitalisasi nilai-nilai sumpah pemuda
adalah konklusi dari permasalah generasi ini. Sebagai generasi muda, kita harus berani mengklaim bahwa
semangat zaman (zeitgeist) hari ini, adalah milik pemuda Indonesia.
Spirit
sumpah pemuda jangan hanya dijadikan hiasan sejarah yang menunggu usang hingga
akhirnya tidak memberi makna apapun kini ataupun besok. Cita-cita pemuda di
masa lalu adalah adalah warisan yang harus harus digenggam hari ini.
Nilai-nilai sumpah pemuda tidak boleh dipandang sebagai nilai yang statis tapi
sebagai nilai yang dinamis dan dialektis. Dalam artian, semangat dari nilai
sumpah pemuda tidak berakhir ketika Indonesia mendeklarasikan medeka pada 17
Agustus 1945 saja, akan tetapi semangat itu harus senantiasa kita bawa
pasca-kemerdekaan. Reaktualisasi nilai-nilai sumpah pemuda harus bersifat
dinamis mengingat tantangan zaman yang begitu kuat dihadapan kita.
Predikat
agent of changes yang diamanatkan oleh bangsa dari generasi masu lalu adalah
sebuah permata tanggung jawab yang harus diamalkan. Pemuda harus senantiasa
berasa di barisan paling depan dalam mengawal perubahan sosial yang meliputi
aspek-aspek sosial, pendidikan, budaya dan hukum di Indonesia. Sebab perubahan
sosial adalah fenomena, dan motor yang menggerakkannya adalah pemuda.
Pemuda
sebagai aktor sejarah, yang dengan berani mengklaim bahwa sejarah adalah milik
mereka, berkewajiban untuk melaksanakan cita-cita bangsa dengan menuntut:
1.
Pemberantasan
kemiskinan dan perbaikan ekonomi nasional.
2.
Pemerataan
kualitas pendidikan.
3.
Pengokohan
budaya sebagai identitas nasional.
4.
Supremasi
hukum yang seadil-adilnya.
5.
Nasionalisasi
aset negara.
Akhirnya,
setiap pemuda Indonesia harus memilki sikap dalam dirinya untuk memajukan
negaranya seperti yang di ungkapkan oleh Jhon F. Kennedy yaitu, “ask not what
your country can do for you. But ask what you can do for your country” yang
bermakna jangan tanya apa yang tanah airmu dapat memberikan kepada mu tetapi
tanyakanlah apa yang dapat berikan kepada tanah air mu, sedangkan bung karno
berpesan kepada kaum pemuda,beri aku 1.000 orang tua, akan aku cabut Semeru
dari akarnya. Beri aku 10 orang pemuda, akan aku goncangkan dunia” (Ir.
Soekarno)